Selasa, 23 Desember 2008

SEJARAH HANDPHONE

Handphone Begitu populer saat ini, bahkan mulai beberapa tahun lalu, Hp atau Handphone seolah sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat indonesia, mau dagang sayur, tukang sampah, sampe anggota DPR tak ketinggalan menggunakan fasilitas yang 10 tahun lalu di anggap wah, atau barang mewah.

Selain hal yang saya sebutkan diatas, Handphone kini menjadi kebutuhan pokok orang indonesia di karenakan juga karena harga nya yang Murah, banyak Hp Murah beredar dengan kualitas yang lumayan canggih. Tapi apakah anda tau sejarah awal Hp itu ada? Berikut adalah secuil sejarah Handphone atau yang biasa di singkat Hp di indonesia.

Sejarah telepon seluler atau yang kita kenal HP, ternyata sudah ada dari jaman penjajahan, yaitu kira-kira tahun 1947 di negara paman sam alias Amrik dan Eropa sana. Pada tahun 1910 adalah cikal bakal telepon seluler yang ditemukan oleh Lars Magnus Ericsson, yang merupakan pendiri perusahaan Ericsson yang kini di kenal dengan perusahaan Sony Ericsson. Pada awalnya, orang Swedia ini medirikan perusahaan Ericsson memfokuskan terhadap bidang bisnis perlaan telegraf, dan perusahaanya juga tidak terlalu besar pada waktu itu.

Pada tahun 1921 pertama kalinya Departemen Kepolisian Detroit Michigan menggunakan teleopn mobile yang terpasang di semua mobil polisi dengan menggunakan freuensi 2 MHz.

Pada tahun 1960, di Finlandia sebuah perusahaan bernama Fennis Cable Works yang semula berbisnis dibidang kabel, melakukan ekspensi dengan mendirikan perusahaan elektronik yang bernama Nokia sebagai handset telepon seluler.

Tahun 1970-an perkembangan telepon mobile menjadi pesat dengan di dominasi oleh 3 perusahaan besar yaitu di Eropa dengan perusahaan Nokia dan rerusahaan Mototola-nya.

Pada tahun 1969, sistem telekomunikasi seluler dikomersialkan. Setelah tahun 1970, telekomunikasi seluler semakin sering dibicarakan orang. Motorola mengenalkan telepon genggam tiga tahun kemudian. Ukurannya memang cukup besar dengan antena pendek. Ada pula ponsel dengan ukuran sekoper. Dr Cooper yang menjadi manajer proyek inovasi Motorola itu memasang base station di New York. Untuk proyek ini Motorola bekerja dengan Bell Labs. Penemuan ini sekaligus diklaim sebagai penemuan ponsel pertama. Di suatu pagi 3 April 1973,Cooper, saat itu menjabat sebagai general manager pada Divisi Communication Systems Motorola mempertunjukkan cara berkomunikasi aneh dari terminal telepon portable. Dia mencoba ponsel ‘raksasanya’ sambil berjalan–jalan di berbagai lokasi di New York. Itulah saat pertama ponsel ditampilkan dan digunakan di depan publik.

Dalam pertunjukan itu, Cooper menggunakan ponsel seberat 30 ounce sekitar (800 gram) atau sepuluh kali lipat dibandingkan rata – rata ponsel yang beredar saat ini.

Demikian lah sejarah hp yang selama ini kita gunakan, kalo dulu orang memiliki hp sudah merupakan sebuah barang yang wah, tapi kini anak SD yang memiliki dua buah handphone merupakan hal yang sangat biasa. Perkembangan teknologi tak akan berhenti disini, masih banyak inovasi yang mungkin akan terus muncul pada musim-musim mendatang. Kita nantikan saja…

SUMBER : www.hpmurah.info/2008/11/sejarah-hp/ - 34k

SEJARAH TELEVISI

Pada tahun 1873 seorang operator telegram menemukan bahwa cahaya mempengaruhi resistansi elektris selenium. Ia menyadari itu bisa digunakan untuk mengubah cahaya kedalam arus listrik dengan menggunakan fotosel silenium (selenium photocell)

Kemudian piringan metal kecil berputar dengan lubang-lubang didalamnya ditemukan oleh seorang mahasiswa yang bernama Paul Nipkow di Berlin, Jerman pada tahun 1884 dan disebut sebagai cikal bakal lahirnya televisi. Sekitar tahun 1920 John Logie Baird dan Charles Francis Jenkins menggunakan piringan karya Paul Nipkow untuk menciptakan suatu sistem dalam penangkapan gambar, transmisi, serta penerimaannya. Mereka membuat seluruh sistem televisi ini berdasarkan sistem gerakan mekanik, baik dalam penyiaran maupun penerimaannya. Pada waktu itu belum ditemukan komponen listrik tabung hampa (Cathode Ray Tube)

Televisi elektronik agak tersendat perkembangannya pada tahun-tahun itu, lebih banyak disebabkan karena televisi mekanik lebih murah dan tahan banting. Bukan itu saja, tetapi juga sangat susah untuk mendapatkan dukungan finansial bagi riset TV elektronik ketika TV mekanik dianggap sudah mampu bekerja dengan sangat baiknya pada masa itu. Sampai akhirnya Vladimir Kosmo Zworykin dan Philo T. Farnsworth berhasil dengan TV elektroniknya. Dengan biaya yang murah dan hasil yang berjalan baik, orang-orang mulai melihat kemungkinan untuk

Vladimir Zworykin, yang merupakan salah satu dari beberapa pakar pada masa itu, mendapat bantuan dari David Sarnoff, Senior Vice President dari RCA (Radio Corporation of America). Sarnoff sudah banyak mencurahkan perhatian pada perkembangan TV mekanik, dan meramalkan TV elektronik akan mempunyai masa depan komersial yang lebih baik. Selain itu, Philo Farnsworth juga berhasil mendapatkan sponsor untuk mendukung idenya dan ikut berkompetisi dengan Vladimir.

TV ELEKTRONIK
Baik Farnsworth, maupun Zworykin, bekerja terpisah, dan keduanya berhasil dalam membuat kemajuan bagi TV secara komersial dengan biaya yang sangat terjangkau. Di tahun 1935, keduanya mulai memancarkan siaran dengan menggunakan sistem yang sepenuhnya elektronik. Kompetitor utama mereka adalah Baird Television, yang sudah terlebih dahulu melakukan siaran sejak 1928, dengan menggunakan sistem mekanik seluruhnya. Pada saat itu sangat sedikit orang yang mempunyai televisi, dan yang mereka punyai umumnya berkualitas seadanya. Pada masa itu ukuran layar TV hanya sekitar tiga sampai delapan inchi saja sehingga persaingan mekanik dan elektronik tidak begitu nyata, tetapi kompetisi itu ada disana.

TV RCA, Tipe TT5 1939, RCA dan Zworykin siap untuk program reguler televisinya, dan mereka mendemonstrasikan secara besar-besaran pada World Fair di New York. Antusias masyarakat yang begitu besar terhadap sistem elektronik ini, menyebabkan the National Television Standards Committee [NTSC], 1941, memutuskan sudah saatnya untuk menstandarisasikan sistem transmisi siaran televisi di Amerika. Lima bulan kemudian, seluruh stasiun televisi Amerika yang berjumlah 22 buah itu, sudah mengkonversikan sistemnya kedalam standard elektronik baru.

Pada tahun-tahun pertama, ketika sedang resesi ekonomi dunia, harga satu set televisi sangat mahal. Ketika harganya mulai turun, Amerika terlibat perang dunia ke dua. Setelah perang usai, televisi masuk dalam era emasnya. Sayangnya pada masa itu semua orang hanya dapat menyaksikannya dalam format warna hitam putih.

TV BERWARNA
Sebenarnya CBS sudah lebih dahulu membangun sistem warnanya beberapa tahun sebelum rivalnya, RCA. Tetapi sistem mereka tidak kompatibel dengan kebanyakan TV hitam putih diseluruh negara. CBS yang sudah mengeluarkan banyak sekali biaya untuk sistem warna mereka harus menyadari kenyataan bahwa pekerjaan mereka berakhir sia-sia. RCA yang belajar dari pengalaman CBS mulai membangun sistem warna menurut formatnya. Mereka dengan cepat membangun sistem warna yang mampu untuk diterima pada sistem warna dan sistem hitam putih. Setelah RCA memamerkan kemampuan sistem mereka, NTSC membakukannya untuk siaran komersial thn 1953.

Berpuluh tahun kemudian hingga awal milenium baru abad 21 ini, orang sudah biasa berbicara lewat telepon selular digital dan mengirim e-mail lewat jaringan komputer dunia, tetapi teknologi televisi pada intinya tetap sama. Tentu saja ada beberapa perkembangan seperti tata suara stereo dan warna yang lebih baik, tetapi tidak ada suatu lompatan besar yang mampu untuk menggoyang persepsi orang tentang televisi. Tetapi semuanya secara perlahan mulai berubah, televisi secara bertahap sudah memasuki era digital.

SUMBER : misteridigital.wordpress.com/2007/09/24/sejarah-televisi/ - 80k

Senin, 15 Desember 2008

Tantangan Masa Depan Konvergensi Media

Berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi (information and communication technology / ICT) selama dekade terakhir membawa tren baru di dunia industri komunikasi yakni hadirnya beragam media yang menggabungkan teknologi komunikasi baru dan teknologi komunikasi massa tradisional. Pada dataran praktis maupun teoritis, fenomena yang sering disebut sebagai konvergensi media ini memunculkan beberapa konsekuensi penting. Di ranah praktis, konvergensi media bukan saja memperkaya informasi yang disajikan, melainkan juga memberi pilihan kepada khalayak untuk memilih informasi yang sesuai dengan selera mereka. Tidak kalah serius, konvergensi media memberikan kesempatan baru yang radikal dalam penanganan, penyediaan, distribusi dan pemrosesan seluruh bentuk informasi baik yang bersifat visual, audio, data dan sebagainya (Preston: 2001).

Fenomena jurnalisme online sekarang ini menjadi contoh menarik. Khalayak pengakses media konvergen alias ”pembaca” tinggal meng-click informasi yang diinginkan di komputer yang sudah dilengkapi dengan aplikasi internet untuk mengetahui informasi yang dikehendaki dan sejenak kemudian informasi itupun muncul.

Alhasil, aplikasi teknologi komunikasi terbukti mampu mem-by pass jalur transportasi pengiriman informasi media kepada khalayaknya. Di sisi lain, jurnalisme online juga memampukan wartawan untuk terus-menerus meng-up date informasi yang mereka tampilkan seiring dengan temuan-temuan baru di lapangan. Dalam konteks ini, konsekuensi lanjutnya adalah berkurangnya fungsi editor dari sebuah lembaga pers karena wartawan relatif mempunyai kebebasan untuk segera meng-up load informasi baru tanpa terkendala lagi oleh mekanisme kerja lembaga pers konvensional yang relatif panjang.

Pada aras teoritik, dengan munculnya media konvergen maka sejumlah pengertian mendasar tentang komunikasi massa tradisional terasa perlu diperdebatkan kembali. Konvergensi menimbulkan perubahan signifikan dalam ciri-ciri komunikasi massa tradisional atau konvensional. Media konvergen memadukan ciri-ciri komunikasi massa dan komunikasi antarpribadi dalam satu media sekaligus. Karenanya, terjadi apa yang disebut sebagai demasivikasi (demasssification), yakni kondisi di mana ciri utama media massa yang menyebarkan informasi secara masif menjadi lenyap. Arus informasi yang berlangsung menjadi makin personal, karena tiap orang mempunyai kebebasan untuk memilih informasi yang mereka butuhkan.

Dalam catatan McMillan (2004), teknologi komunikasi baru memungkinkan sebuah media memfasilitasi komunikasi interpersonal yang termediasi. Dahulu ketika internet muncul di penghujung abad ke-21, pengguna internet dan masyarakat luas masih mengidentikkannya sebagai ”alat” semata. Berbeda halnya sekarang, internet menjadi ”media” tersendiri yang bahkan mempunyai kemampuan interaktif. Sifat interactivity dari penggunaan media konvergen telah melampaui kemampuan potensi umpan balik (feedback), karena seorang khalayak pengakses media konvergen secara langsung memberikan umpan balik atas pesan-pesan yang disampaikan. Karakteristik komunikasi massa tradisional di mana umpan baliknya tertunda menjadi lenyap karena kemampuan interaktif media konvergen. Oleh karenanya, diperlukan pendekatan baru di dalam melihat fenomena komunikasi massa. Disebabkan karena sifat interactivity media komunikasi baru, maka pokok-pokok pendekatan linear (SMCRE = source à message à channel à receiver à effect/feedback) komunikasi massa terasa kurang relevan lagi untuk media konvergen.

Dalam konteks yang lebih luas, konvergensi media sesungguhnya bukan saja memperlihatkan perkembangan teknologi yang kian cepat. Konvergensi mengubah hubungan antara teknologi, industri, pasar, gaya hidup dan khalayak. Singkatnya, konvergensi mengubah pola-pola hubungan produksi dan konsumsi, yang penggunaannya berdampak serius pada berbagai bidang seperti ekonomi, politik, pendidikan, dan kebudayaan. Di negara maju semacam Amerika sendiri terdapat tren menurunnya pelanggan media cetak dan naiknya pelanggan internet. Bahkan diramalkan bahwa dalam beberapa dekade mendatang di negara tersebut masyarakat akan meninggalkan media massa tradisional dan beralih ke media konvergen. Jika tren-tren seperti itu merebak ke berbagai negara, bukan tidak mungkin suatu saat nanti peran pers online akan menggantikan peran pers tradisional.

Konvergensi memberikan kesempatan baru kepada publik untuk memperluas pilihan akses media sesuai selera mereka. Dari sisi ekonomi media, konvergensi berarti peluang-peluang profesi baru di dunia industri komunikasi. Tidak kalah pentingnya di dalam mempersiapkan sumber daya yang mampu merespon kebutuhan pasar ke depan adalah sektor pendidikan. Pendidikan sekarang harus mampu merespon tantangan perubahan yang salah satunya diakibatkan oleh merebaknya media konvergen. Terutama untuk jenjang pendidikan tinggi, diperlukan bukan saja kurikulum yang merangkum pelbagai aspek teknis mekanis teknologi komunikasi baru (ICT); melainkan juga perlu ditanamkan kaidah-kaidah profesional sehingga pada saatnya nanti para lulusan dapat berkarya di masyarakat secara etis dan bertanggung jawab.

Regulasi Konvergensi
Sifat alamiah perkembangan teknologi selalu saja mempunyai dua sisi, positif dan negatif. Di samping optimalisasi sisi positif, antisipasi terhadap sisi negatif konvergensi nampaknya perlu dikedepankan sehingga konvergensi teknologi mampu membawa kemaslahatan bersama. Pada aras politik ini diperlukan regulasi yang memadai agar khalayak terlindungi dari dampak buruk konvergensi media. Regulasi menjaga konsekuensi logis dari permainan simbol budaya yang ditampilkan oleh media konvergen. Tujuannya jelas, yakni agar tidak terjadi tabrakan kepentingan yang menjadikan salah satu pihak menjadi dirugikan. Terutama bagi kalangan pengguna atau publik yang memiliki potensi terbesar sebagai pihak yang dirugikan alias menjadi korban dari konvergensi media.

Persoalan pertama regulasi menyangkut seberapa jauh masyarakat mempunyai hak untuk mengakses media konvergen, dan seberapa jauh distribusi media konvergen mampu dijangkau oleh masyarakat. Problem mendasar dari regulasi konvergensi media dalam konteks ini terkait dengan seberapa jauh masyarakat mempunyai akses terhadap media konvergen dan seberapa jauh isi media konvergen dapat dianggap tidak melanggar norma yang berlaku. Kekhawatiran sebagian kalangan bahwa isi media konvergen pada bagian tertentu akan merusak moral generasi muda merupakan salah satu poin penting yang harus dipikirkan oleh para pelaku media konvergen.

Beberapa pertanyaan pokok yang harus dijawab terkait dengan isu regulasi media konvergen adalah; pertama, siapa yang paling berkewajiban untuk membuat format kebijakan yang mampu mengakomodasi seluruh kepentingan aktor-aktor yang telibat dalam konvergensi dan kedua adalah bagaimana isi regulasi sendiri mampu menjawab tantangan dunia konvergen yang tak terbendung. Pertanyaan terakhir ini menarik, karena perkembangan teknologi umumnya selalu mendahului regulasi. Dengan kata lain, regulasi hampir selalu ketinggalan jika dibandingkan dengan perkembangan teknologi komunikasi.

Dalam hal penciptaan regulasi konvergensi media, institusi yang paling berwenang membuat regulasi adalah pemerintah atau negara. Cara pandang demikian dapat dipahami jika dilihat dari fungsi negara sebagai regulatory agent di dalam menjaga hubungan antara pasar dan masyarakat. Di satu sisi negara memegang kedaulatan publik dan di sisi lain negara mempunyai apparatus yang berfungsi menjaga efektif tidaknya sebuah regulasi. Gambaran ideal dari hubungan tiga aktor konvergensi (negara, pasar, masyarakat) ini mestinya berlangsung secara harmonis dan seimbang. Jangan sampai terdapat salah satu pihak yang mendominasi yang lain, misalnya media konvergen cenderung mendominasi masyarakat, sementara masyarakat tidak punya pilihan lain selain menerima apa adanya tampilan-tampilan yang ada pada media.

Membangun sebuah regulasi yang komprehensif dan berdimensi jangka panjang tentu saja bukan hal yang mudah. Bahkan dalam konteks perkembangan teknologi komunikasi yang makin cepat, regulasi yang berdimensi jangka panjang nampaknya hampir menjadi satu hal yang mustahil. Adagium tentang regulasi yang selalu ketinggalan dibandingkan perkembangan teknologi mesti disikapi secara bijak. Pasalnya, sebuah bangunan kebijakan selalu mengandung celah multiinterpretasi sehingga bisa saja hal itu dimanfaatkan untuk menampilkan citraan media yang luput dari tujuan kebijakan. Di sisi lain, pada saat sebuah kebijakan disahkan dan dicoba diimplementasikan, boleh jadi telah muncul varian teknologi baru yang tak terjangkau oleh regulasi tersebut. Ini tidak berarti bahwa pembuatan regulasi tak harus dilakukan, bagaimanapun regulasi menjadi kebutuhan mendesak agar teknologi komunikasi baru tidak menjadi instrumen degradasi moral atau menjadi alat kelas berkuasa untuk menidurkan kesadaran orang banyak.

Regulasi tetap diperlukan untuk mengawal nilai-nilai kemanusiaan dalam hubungan antarmanusia itu sendiri. Beberapa isu menarik layak direnungkan dalam konteks penyusunan regulasi. Pertama adalah bagaimana pengambil kebijakan mendefinisikan batasan sektor-sektor yang akan dikenai kebijakan, misalnya saja soal hukum yang dapat dijalankan. Kedua bagaimana situasi pasar dan hak cipta diterjemahkan. Wilayah ini menyangkut soal self regulation dan kondisi standarisasi hak cipta. Ketiga, bagaimana soal akses pada jaringan media serta kondisi sistem akses itu sendiri. Persoalan seperti pengaturan decoder TV digital maupun content media menjadi layak kaji dalam hal ini. Keempat, akses pada spektrum frekuensi, kelima mengenai standar jangkauan atau sejauh mana media konvergen dapat dijangkau oleh khalayak serta apakah sebuah akses harus disertai dengan harga yang harus dibayar oleh khalayak. Dan terakhir menyangkut sejauh mana kepentingan khalayak diakomodasi oleh regulasi, misalnya sejauh mana freedom of speech dan kalangan minoritas benar-benar mendapat perlindungan dalam sebuah kebijakan.